Title : Make You Happy
Genre : Yaoi | Romantis | Drama | keluarga | humor|
Pairing : Fang x Elemental Boboiboy (slight elemental x elemental)
Disclaimer : Monsta studio
Make You Happy : Ichadray
Warning : Yaoi | AU | incess | FangBoy elemental | Harem Fang | Typo bertebaran | etc..
Summary : Fang kecil tumbuh di dalam keluarga Boboiboy yang terlalu mencintainya.
A/N : ide ini muncul setelah Icha di ceritakan sama Mommy Icha mengenai rumah tetangga yang kebakaran, entah kenapa Ica juga teringat sama anime Sup*r Lovers saat mendengarnya. Ica tidak tahu apakah ini namanya kurang ajar atau gimana, tapi ide ini tiba-tiba memenuhi kepala TvT)~
Jadi, dari pada di buang.. lebih baik di tuang :’3
Happy reading~
Make You Happy
ICHADRAY
.
.
Cuacanya masih terang saat awan-awan itu menggumpal kelabu, bersama kepulan asap yang hampir menutupi separuh rumah yang di lahap api yang berkobar. Teriakan memekikkan telinga terdengar saling bersahutan, berharap dengan cara yang sama bisa sedikit membantu pemadaman api yang semakin lama semakin cepat tidak terkendali. Beberapa warga berteriak, memanggil pemadam kebakaran untuk evakuasi orang-orang dari rumah megah yang terpajang elegan. Wajah-wajah yang panik dan bantuan yang diberikan.
Di tengah keributan dan suara mobil pemadam kebakaran yang bergegas, seorang anak kecil terbangun dari tidurnya, mengusap mata dan terbatuk karena menghirup asap yang tercemar di sekelilingnya. Wajah tampan yang datar dan mata tajam terbingkai kacamata menawan.
Manik keunguan itu berkaca-kaca, merasakan perih di kedua matanya dan tenggorokan yang sakit.
“Mum? Father?”
Panggilan yang terlontar di iringi rintisan kelurahan, belum sepenuhnya menyadari bahwa api semakin memakan banyak tempat di sebelah dindingnya.
“Hei..! Apa kau baik-baik saja?!”
Suara keras itu mengalihkan fokus anak kecil yang bingung, baru menyadari jika tubuhnya sedikit terasa panas. Kacamata itu terpasang sempurna, selesai dengan gosokkan pada kelopak mata yang berlinang berkedip fokus. Terbelalak melihat kobaran api di dekatnya dan asap yang semakin menggumpal, air mata itu keluar.
“Tenang, kemari..” ucapan lembut terlontar, anak kecil itu bisa melihat tangan yang melambai dari sebalik pintu yang sudah di penuhi api dan di tendang.
“Mum.. Father.. Fang takut..”
Balasan dari suara kecil yang bergetar, memeluk sebuah bantal dan jam tangan yang terpasang di lengan. Api semakin menyebar seiring air mata yang semakin keluar.
“Hei, sini.. ayo cepat.. oh sial, aku tidak bisa menahan pintu ini lebih lama!”
Umpatan dan sang anak bergetar di tempatnya, dengan insting yang membuat langkah kaki kecil itu menuju suara dari sebalik kabut asap dan kobaran api. Keterkejutan dan ketakutan terpancar di belakang kacamata yang berembun. Sang anak hanya terus menangis dan memanggil orang tuanya saat tubuh kecil itu di angkat dan juga di peluk erat.
“Tutup matamu, dan jangan lepaskan.”
Menurut, mata itu kemudian terpejam, terbatuk dan tangisan yang pilu tidak ada habisnya.
“Oh astaga, dia masih sangat kecil..”
“Kasihan sekali..”
“Bukankah dia anak satu-satunya?”
“Bagaimana bisa terjadi kebakaran?”
“Rumah itu sudah termakan api dan tidak tersisa..”
“Kasihan..”
“Untung saja pemuda itu berani ke dalam.”
“Kudengar mereka baru saja pindah ke rumah itu..”
“Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika dia tidak di temukan..”
Tubuh kecil itu bergetar hebat, sampai pada suara berisik dan cemas orang-orang terdengar menggema di telinganya sebelum kesadaran yang mulai direnggut.
.
.
Make You Happy
by ICHADRAY
.
.
“Kak Hali, tolong jangan mati dulu!”
Pertanyaan cemas itu terlontar dari seorang pemuda yang masih memakai seragam universitas, terengah-engah berlari, mata biru tua mencari, memancarkan kekhwatiran yang di ikuti para pemuda lain di belakangnya
Tujuh wajah manis yang identik, seragam yang sama dengan tampilan bola mata yang berbeda. Semua orang di sana tampaknya mengagumi para pemuda yang memancarkan keindahan di sebalik raut wajah serius.
Keenam pemuda kembar yang masuk adalah Boboiboy bersaudara, Cucu dari Tok Aba yang kini memasuki ruangan dengan tergesa. Beberapa orang mengakui sangat sulit membedakan mereka semua, tapi bahkan jika mereka lebih teliti, ada lebih banyak perbedaan mencolok yang bisa dilihat dari tujuh wajah yang benar-benar identik nan cantik.
Kembaran pertama adalah Halilintar, pemuda datar dengan tatapan tajam bersama manik ruby yang menawan.
Lalu yang kedua bernama Gempa, wajah yang terdapat senyum lembut dengan bola mata hazel yang hangat.
Kembaran ketiga adalah Taufan, pemuda dengan senyuman lebar dan warna mata biru tua yang memancarkan humor.
Keempat, masih dengan wajah yang sama adalah Blaze, mata berwarna oranye membara itu berbinar-binar dalam kenakalan tanpa ujung.
Lalu selanjutnya bernama Ice, yang agak sesuai dengan namanya, wajah dan warna mata aquamarine biru yang diam itu lebih terlihat dingin dan malas.
Keenam bernama Thorn, pemuda yang mempunyai bola mata emerald bersama tatapan polos yang ceria.
Kembaran terakhir bernama Solar. Berbeda dari kembarannya yang lain, pemuda identik itu adalah satu-satunya Boboiboy bersaudara yang memakai kacamata modifikasi, menyembunyikan warna mata kuning yang berkilau anggun pada kecerdasan.
Secara keseluruhan wajah mereka sangat manis dan proporsi tubuh kembar tujuh itu tidak jauh berbeda, orang-orang mengetahui cara membedakan antara mereka semua adalah dengan melihat bagaimana sikap dan warna pakaian mereka yang senada dengan mata berwarna yang cantik. Mereka semua berdiri mengelilingi sebuah ranjang yang berisi satu anak kecil yang masih memejamkan mata. Dokter dan perawat yang ada di sana menyingkir, mengatakan untuk sedikit menjauh dari sang anak hanya agar suara mereka tidak menggangu. Semua orang bisa melihat sedikit rona samar terampil begitu salah satu perawat wanita keluar melewati para pemuda yang mengangguk paham.
Memperhatikan, ruangan itu cukup besar dengan fasilitas yang cukup untuk bisa menyimpulkan jika kamar rawat yang di masuki tampaknya berkelas. Boboiboy bersaudara melangkah menjauhi kamar tidur, beralih ke arah sofa di pinggir ruangan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kak Hali, apa yang sebenarnya terjadi?” Taufan yang bertanya terlebih dahulu setelah duduk di sofa, menatap antara pancaran humor juga kecemasan pada Kakak kembar pertamanya yang sedikit terbalut oleh perban. Jemari tangannya memeriksa lengan sang Kakak yang juga tertutup oleh cairan peredam nyeri, itu lebih seperti luka bakar.
Halilintar mendengus, membiarkan lengannya di tarik oleh Taufan dan merasa ingin sekali menendang Thorn yang memandangnya seolah ia sekarat.
“Kebakaran besar dan anak itu ada di dalamnya.” Ucap Halilintar datar, tidak berniat melanjutkan apa yang ia katakan dengan melirik tempat tidur yang masih menopang tubuh seorang anak kecil di atasnya, membuat semua kembarannya menoleh ke arah yang di tuju.
“Lalu, apakah kak Hali baik-baik saja?!” Thorn mendekat setelah melepas almamater miliknya, berbalik duduk di sebelah Halilintar yang kembali mendengus datar seolah mengatakan ia lebih dari baik-baik saja. Sedikit luka bakar dan goresan tidak harus membuat para adiknya sampai kemari, bukan?
Halilintar menarik tangannya dari genggaman Taufan, mendorong sebelah kepala adik keenamnya menjauh. Para elemental selain sang Kakak menghela napas lega mengetahui Halilintar l tidak menunjukkan adanya kesakitan yang berarti begitu Thorn dengan sengaja menusuk luka goresan di lengan Halilintar bersama wajah polos.
“Bagaimana keadaan anak itu?” Gempa tersenyum hangat, mengikuti Thorn yang meletakkan almamater ke lengan kursi yang mereka tempati. Pemuda dengan kaus berwarna coklat itu berjalan menuju kasur, hazel menatap sedih pada bocah kecil yang terpejam damai, selang infus itu menetes perlahan.
“Sedikit benturan. Dokter mengatakan jika tidak ada luka yang serius, tapi bisa jadi mengalami trauma.” Halilintar menjawab tanpa menoleh, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Ia sudah berhadapan dengan sang Dokter saat mereka menaiki ambulans dan sampai ke rumah sakit. Pegangan anak itu terlalu kuat di tangannya dan perawatan harus segera di lakukan. Sedikit benturan di kepala anak kecil itu dan Halilintar merasa bertanggung jawab sudah membawa sang bocah keluar. Ia kesal pada semua orang yang hanya bisa mengasihani tanpa tindakan yang berarti.
Thorn, Solar dan Ice berdiri, berjalan mendekati ranjang untuk melihat langsung. Anak kecil itu mungkin berumur lima tahun dilihat dari perawakan tubuh yang memadai, rambut berwarna keunguan yang unik dan wajah tegas masih bersama lemak bayi. Tiga pemuda itu berada di masing-masing sisi sang anak, memperhatikan bagaimana wajah tampan sekaligus imut yang ada di sana terlihat mengagumkan. Sedikit goresan dan itu tidak mengurangi kadar kelucuan di sana. Sangat disayangkan bagaimana anak sekecil ini mengalami hal mengerikan seperti rumah yang terbakar hingga berkemungkinan mengalami trauma.
“Keluarganya?” Taufan bertanya, memperhatikan kembarannya yang lain tengah merapikan selimut yang menurun. Ia melirik sekilas ke arah Blaze yang menggerutu di tempat Thorn semula duduk tepat di sebelah Halilintar, memeriksa lengan sang Kakak yang memutar bola matanya malas.
“Keluarga mereka tidak bisa dihubungi dan kedua orang tuanya meninggal.” Balas Halilintar pelan juga mendorong jarinya ke kepala Blaze agar menjauh dari lengannya yang di perban. Ia menahan diri agar tidak melemparkan sang adik ke jendela di dekatnya karena terus menerus menyentuh di mana lukanya bakarnya bertempat. Ia menghela napas mengingat perjalanan pulangnya yang terhalangi, Halilintar tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Ia sebenarnya tidak terlalu menyukai gagasan menjadi wakil seorang anak, tapi saat melihat bagaimana tubuh kecil anak yang ia selamatkan terus bergetar dan berkeringat tanpa kesadaran, Halilintar tidak bisa tidak peduli. Terlebih, mengetahui kedua orang tuanya anak kecil itu yang meninggal di dalam rumah yang tidak terselamatkan dari kobaran api.
“Aku sangat terkejut saat kak Hali menelpon tengah berada di rumah sakit. Kupikir kak Hali kecelakaan atau semacamnya.” Blaze menggaruk tengkuknya, memberikan cengiran.
“Blaze menelpon kami semua mengatakan jika kak Hali mungkin sedang sekarat.” Taufan menimpali, berseru kepada adik kembarnya yang semakin menaikan cengiran malu, menjauh dari Kakak kembar pertamanya begitu melihat mata merah itu memicing tajam, Halilintar mendengus datar.
“Aku sudah menelpon Tok Aba, yang kebetulan juga bilang akan ke sini, suaranya terburu-buru jika aku tidak salah mendengar. Mungkin sebentar lagi sampai.” Solar menyahuti, menaikan kacamata kuningnya. Ia berbalik untuk duduk kembali di sofa yang lain, mengeluarkan ponsel dari sakunya melihat jam yang menunjukkan pukul tiga sore.
“Thorn sedang dalam kegiatan mahasiswa saat Kak Blaze memanggil. Untunglah Kak Hali tidak apa-apa.” Thorn kembali duduk di tempatnya semula, matanya berkaca-kaca menatap anak kecil yang tengah di temani Ice dan Gempa yang duduk di sana. Emerald polos itu mengedip ke arah Halilintar di sampingnya, menangis tanpa sadar dan spontan memeluk tubuh sang Kakak tertua, membuat pemuda yang lengannya terbalut perban itu sedikit meringis meskipun mengabaikan Thorn duduk di pangkuannya karena Halilintar terlalu lelah meladeni mereka.
“Aku sedang makan,” Ice bergumam, menguap lebar sebelum melipat tangan lalu merebahkan kepalanya di ranjang. Mata biru yang malas itu melirik Kakak kembarnya yang nomor empat sedang merengut masam.
“Hei, aku tidak tahu jika ada kebakaran dan kak Hali hanya mengatakan dia ada di rumah sakit dan menutup telepon bahkan sebelum aku menjawab!” Blaze membela, cemberut saat kembarannya yang lain menoleh ke arahnya seolah menyalahkan.
“Itu sebabnya kau menyimpulkan hal bodoh.” Taufan mengejek, kini merebahkan dirinya dengan kaki yang menggantung di lengan sofa. Mata biru itu melirik terbiasa pada Halilintar yang mengernyit terganggu saat Thorn ingin mencium bibir sang Kakak.
“Jangan berisik, dia bisa terbangun..” Gempa menengahi, berucap pelan namun tegas begitu menyadari anak yang tengah tidur itu menggeliat tak nyaman.
Para pemuda kembar menunggu dengan hening, hanya ada suara notifikasi milik Solar yang dikecilkan. Mereka belum bisa pulang
Tepat saat Thorn bangkit setelah mengecup pipi Halilintar yang tidak merespon, pintu kamar terbuka, menampilkan Tok Aba yang terengah membawa plastik penuh makanan.
“Atok!” Blaze berdiri, mendekati sang Kakek yang masuk dengan raut wajah yang benar-benar cemas. Pria tua itu menatap semua kembaran yang melihatnya serius.
“Mana Fang?!” Tok Aba Belum fokus, tubuh tuanya sedikit membungkuk, membuat Thorn mengambil bungkusan itu dan membimbing sang Kakek.
Para elemental mengedip, butuh dua detik untuk menyimpulkan bahwa Tok Aba menyebutkan nama anak kecil yang sedang berbaring.
Tok Aba menghela napas sedih, mendekat dan mengecup pelipis sang anak yang menggeliat sebelum berbalik menatap tujuh cucunya yang akan mulai bertanya.
“Fang akan menjadi saudara kalian mulai sekarang.”
……>>>>
Fic ini sudah lebih dulu up di Warrpad, Fanfiction dan AO3 dengan judul yang sama.
Silahkan kunjungi salah satu platform di bawah jika ingin memilikinya..
wattpad : https://www.wattpad.com/user/Ichadray
AO3 : https://archiveofourown.org/users/Ichadray
Fanfiction : https://m.fanfiction.net/u/12423709/Ichadray?a=b